Merdeka.com – Edi Budiyanto dikenal sebagai seorang pelatih influencer muda. Dari tangan dinginnya, banyak lahir para influencer muda yang sukses dengan konten mereka masing-masing. Setelah berguru dengan Edi, mereka banyak yang sukses meraup pundi-pundi rupiah dari profesi mereka sebagai seorang influencer.
“Waktu itu ada 15 anak yang ingin belajar di sini. Alhamdulillah setelah ngecamp di sini selama sebulan, ada yang omzetnya. Ada yang bisa mencapai Rp1 miliar, ada yang Rp15 juta, ada juga yang Rp5 juta,” kata Edi saat ditemui Merdeka.com pada Rabu (11/5).
Dikenal sebagai seorang pelatih influencer, tak banyak yang tahu bahwa dulunya Edi merupakan seorang petinju Thai Boxing. Sejak lulus SMP, ia berkecimpung di bidang Thai Boxing selama tujuh tahun. Perjalanan kariernya di Thai Boxing pun terbilang mentereng. Pernah sekali ia menjadi pemegang sabuk emas dalam sebuah kejuaraan Thai Boxing tingkat nasional.
“Jadi saya selalu bilang ke teman-teman, saya itu aslinya nggak bisa ngomong. Kalau jatuhin orang bisa,” ujarnya sambil tertawa.
Setelah menginjak kuliah, Edi mulai sadar ia tidak bisa terus bergelut di dunia tinju seiring penurunan fisik karena usia. Saat itulah ia mulai belajar dunia digital marketing. Edy mengaku belajar marketing secara otodidak. Saat memutuskan pensiun dari dunia tinju pada tahun 2006, ia meminta izin pada istrinya untuk diberi kesempatan tiga bulan untuk belajar digital marketing. Selama itu pula ia rajin ke warnet demi belajar marketing. Pengalaman kerja pertamanya di dunia marketing datang saat ia membantu usaha pamannya di Solo. Usaha pamannya itu bergerak di bidang furniture. Saat itu ia ditugaskan untuk memasarkan produk milik pamannya yang pasarnya sudah mendunia. “Produk Om saya ini pasarnya Spanyol. Dari sana saya belajar bagaimana memasarkan produk ke Spanyol. Di sana saya membuat website untuk online shop. Saat itu pula saya mulai belajar SEO. Akhirnya produk itu booming di Eropa,” ujar pria 41 tahun ini.
Setelah itu Edi memperdalam lagi ilmu SEO dan digital marketing-nya di Asian Brand. Ilmu yang diperoleh kemudian ia praktikkan saat berjualan undangan pernikahan dengan merek Edi Sourjan. Berkat ilmu SEO yang ia miliki, produk undangan pernikahannya berhasil tembus hingga berbagai negara. Bahkan online shop yang ia kelola berhasil duduk di peringkat ke-36 sebagai online shop terbaik se-dunia.
Terkenalnya produknya hingga mancanegara ini rupanya diketahui oleh para pejabat di instansi pemerintahan. Hal inilah yang membuatnya diminta oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) dan salah satu BUMN untuk mendampingi para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di DIY dalam mengembangkan digital marketing.
Namun pada praktinya Edi kesulitan mengajari para pelaku UMKM tentang digital marketing. Kendala utama yang ia hadapi waktu itu adalah para pelaku UMKM kebanyakan sudah berusia 40 tahun ke atas.
“Jangankan bikin konten, untuk ngajarin mereka bikin website jualan saja butuh waktu lama. Bahkan untuk bikin akun email saja butuh waktu berminggu-minggu,” ujarnya.
Akhirnya Edi punya ide untuk memberdayakan anak-anak dari para pelaku UMKM itu dalam memasarkan produk. Banyak pelaku UMKM yang setuju terhadap usulan itu. Hanya saja dari anak-anak itu tidak semuanya bersedia memasarkan produk orang tua mereka. “Tapi mereka senang main Facebook, senang main IG. Kenapa tidak dimanfaatkan? Maka dari pada kesulitan untuk membujuk mereka saya ajak mereka jadi influencer dulu saja, supaya mereka enjoy. Baru setelah enjoy, kita minta mereka untuk mempromosikan produk orang tua mereka melalui mendos yang mereka kelola,” kata Edi. Pada awalnya, Edi hanya memberikan pelatihan bagi mereka yang berminat jadi influencer saja. Muridnya waktu itu berjumlah 15 orang. Ia menggunakan kantornya yang biasa digunakan untuk memproduksi undangan sebagai ruang belajar. Program itu berjalan selama 2 bulan. Selama program itu, Edi mengajarkan anak didiknya mulai bagaimana membuat konten yang menarik, memahami algoritma media sosial, menghasilkan follower yang banyak, dan lain sebagainya. Soal konten yang menarik, Edi mengatakan seorang calon influencer harus menentukan dulu “value” yang ingin diangkat dari setiap konten-kontennya. “Value” inilah yang akan menentukan siapa target audiens dan apa yang menjadi pembeda dari konten-konten milik influencer lainnya.
Baca Selanjutnya Suara Merdeka https://www.merdeka.com/jateng/seorang-mantan-petinju-begini-cerita-edi-budiyanto-mendidik-para-calon-influencer.html
“Biasanya orang melihat sebuah ‘value’ dari konten. Kalau kita sudah kelihatan value-nya dan ada hal yang membedakan dari konten-konten lain, maka orang akan sukarela menjadi follower kita,” kata Edi. Bagi Edi, tantangan utama dalam mendidik anak muda menjadi influencer adalah membina karakter mereka. Ini dikarenakan cara penyampaian konten dan tata bahasa dipengaruhi oleh karakter seseorang. Ia menjelaskan, kalau karakter seseorang buruk, maka dia akan menyampaikan sebuah konten pesan dengan cara-cara yang tidak beretika. “Selain itu kalau dia follower-nya sudah tinggi, tapi tidak dibekali dengan karakter yang baik, dia akan jadi sombong. Jadi beban moral itu harus dikejar seorang influencer. Jangan cuma kejar keuntungan. Itu yang saya tekankan ke anak-anak,” jelasnya.
Selain soal karakter, Edi juga mendidik para calon influencer muda itu soal kedisiplinan. Bahkan hal ini ia terapkan sendiri pada putrinya, Lecia Alvyaulia, yang berusia 17 tahun.
Pada suatu hari setelah Salat Subuh, Lecia bilang pada sang ayah kalau dia mengeluh pusing. Padahal nanti jam 8 pagi ada rapat. ( baca selanjutnya )